Senin, 22 Desember 2008

Karsa Vs Kaji, Signs of Propaganda

Pertarungan pemilihan gubernur Jawa Timur putaran terakhir akan segera dilakukan. Pertarungan babak pertama dan kedua sudah dilalui dengan perolehan suara yang tidak jauh berbeda. Pertarungan sengit antara kubu Karsa dan Kaji akan terus berlanjut. Dan alhamdulillah sampai saat ini tidak ada tindak anarki yang mewarnai proses demokrasi yang sedang berlangsung di Jawa Timur.
Mengapa Karsa dan Kaji bisa memperoleh suara yang hampir tidak jauh berbeda untuk putaran satu dan dua. Berikut analisis penulis yang didasarkan pada signs of propaganda. Atau bagaimana menciptakan sebuah citra bagi para kedua calon gubernur terhadap para pemilih di Jawa Timur.
Karsa
Karsa merupakan singkatan dari nama Calon Gubernur Soekarwo dan Wakil Gubernur Saefullah Yusuf. Dalam bahasa indonesia Karsa berarti kehendak atau niatan. Kata ini dimunculkan selain karena sudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya, juga untuk menciptakan citra positif bahwa kedua calon pemimpin di Jawa Timur ini memiliki niat yang tulus dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat Jawa Timur.
Jauh sebelum pemilihan gubernur ini dilaksanakan di televisi lokal Jawa Timur sering muncul sosok calon gubernur ini dalam iklan sebuah lagu sholawatan tradisional. Dan calon gubernur ini lebih dikenal sebagai Pakdhe Karwo daripada nama aslinya yaitu, Dr. Soekarwo.
Kenapa “Pakdhe”? Kata ini sengaja dimunculkan karena kata “pakdhe” adalah kata yang familiar di telinga masyarakat Jawa Timur. Pakdhe merupakan singkatan dari Bapak Gedhe yang merupakan kakak dari orangtua kita. Dalam budaya di Jawa Timur, Pak Dhe adalah orang kedua setelah kakek yang biasanya dimintai pendapat ketika dalam keluarga terjadi sebuah permasalahan yang tidak bisa dipecahkan oleh keluarga kecil. Pakdhe juga merupakan pengganti kakek ketika kakek sudah meninggal dunia. Dan biasanya orang yang disebut Pakdhe adalah orang yang bijaksana.
Tanda berikutnya yang dimunculkan adalah slogan dari no urut lima pada pemilihan kepala daerah putaran kedua yang lalu, yakni “ Coblos Brengose!” Mengapa brengos, dan bukannya kumis. “Brengos” merupakan kosakata yang lebih di kenal oleh masyarakat Jawa Timur dibandingkan dengan “Kumis” . Brengos bisa juga menunjukkan kewibawaan seseorang. Masih ingatkah ketika pada waktu kecil dulu kita mengenal tokoh dalam serial si Unyil, yaitu Pak Raden yang terkenal dengan brengosnya dan suaranya yang besar yang mengesankan kewibawaan. Startegi ini berhasil menancap dalam benak pemilih. Dan strategi ini berhasil membuat sesuatu yang berbeda dengan slogan pada umumnya, seperti Coblos kopyahe!, Coblos nomor Anu!, dan sebagainya. Dan image brengos lebih mudah dingat sebagaimana dulu waktu partai Golkar menanamkan image pohon beringin dan dua anak cukup.
Kaji
Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dengan nomor urut satu pada pilkada putaran kedua ini mengusung slogan Kaji Manteb. Kaji merupakan singkatan dari Kofifah dan Mudjiono. Sedangkan manteb merupakan kosakata dalam bahasa jawa yang berarti mantap, kuat, atau teguh. Kaji manteb bisa diartikan Kaji yang memiliki keteguhan hati untuk mewujudkan cita-cita bersama masyarakat Jawa Timur.
Lalu pertanyaannya adalah mengapa Kaji, bukan Komu, atau Fidji, atau Koji? Kaji dalam budaya Jawa Timur memiliki arti yang sangat luas. Tidak hanya sebagai sebutan kepada orang yang sudah menunaikan ibadah haji di kota Mekkah, tetapi juga merupakan sebuah status sosial yang cukup terhormat. Masyarakat di pedesaan atau di kampung-kampung di Jawa Timur lebih mudah mengenal sosok Wak Kaji, dibanding nama orangnya sendiri,misalnya Wak Kaji Soto karena sotonya yang terkenal, Kaji Rombeng karena terkenal dengan barang rongsokannya, Kaji Daging karena bisa naik haji gara-gara jualan daging, dan sebagainya.
Anda tentu masih ingat mengapa di salah satu acara sebuah telivisi lokal di Jawa timur, ada acara Wak Kaji Show, dan bukannya Kyai Show atau Ustadz Show. Karena sosok Kaji ini biasa muncul didalam kehidupan masyarakat kecil di Jawa Timur. Dan jangan lupa sebagai salah satu rukun islam yang kelima dalam ajaran islam, Kaji merupakan tujuan akhir dari seorang mengaku dirinya muslim. Bahkan di beberapa di daerah di Jawa Timur orang rela tidak memiliki apa-apa tetapi bisa menunaikan rukun islam yang kelima ini dan kemudian mendapatkan gelar haji atau kaji dalam bahasa jawa. Selain sebagi wujud dari perintah agama, dengan melaksankan ibadah haji orang akan memiliki memiliki status sosial yang lebih terhormat. Dan orang lebih bangga jika namanya disebut dengan Wak Kaji Dullah, Wak Kaji Soleh, dadipada Pak Dullah atau Pak Sholeh saja.
Dari sinilah sebenarnya kita dapat mengukur bahwa secara signs of propaganda keduanya memiliki modal yang cukup besar. Modal kultural yang diramu dalam sebuah simbol yang berfungsi untuk membangun citra di dalam benak pemilih. Terlepas dari program-program yang diusung dan strategi politis yang dilakukan oleh kedua calon gubernur dan wakil gubernur ini, tentunya rakyat tetap berharap bahwa siapapun yang menjadi gubernur di Jawa timur nantinya dapat menyejahterahkan dan membangun Jawa Timur. Semoga.(anjangpranata@yahoo.com)

Tidak ada komentar: